Selasa, 21 Agustus 2007
Akrobat Pak Koco dan Pebisnis Tanaman Hias
Oleh : Bambang Haryanto
Rebusan Manusia. Pak Koco sosoknya ramping. Rambutnya ikal, wajahnya mirip almarhum pelawak Leysus. Rumahnya di Gerdu, belakang terminal bis Wonogiri. Di tahun 60-an ia menjadi buah bibir anak-anak Wonogiri. Ia pandai berakrobat, naik sepeda beroda satu. Ia pun pandai bercerita. Panggungnya adalah tanah lapang di bagian utara pasar Wonogiri, di bawah rindangnya pohon trembesi raksasa.
Pak Koco adalah penjual obat. Bagi kami, anak-anak setingkat SD, obat yang beliau jual tidak menjadi perhatian utama kami. Yang menarik adalah cerita Pak Koco. Juga akrobatnya. Cerita yang sering ia tuturkan adalah mengenai pelbagai macam cara orang untuk bisa cepat kaya secara mendadak, dengan mencari pesugihan, atau bekerja sama dengan roh halus atau setan.
Di sekitar tempat duduk sang asistennya bertalu-talu menabuh genderang, bertebaran gambar beragam teknik mencari pesugihan itu. Dan, menariknya, ada pula gambar-gambar mengenai hukuman dari Allah untuk mereka yang melakukan hal sesat itu. Misalnya ada gambar rangka bangunan rumah, tetapi konstruksinya terdiri dari sambungan tubuh-tubuh manusia. Ada pula manusia yang masuk bejana, sementara di bagian bawah bejana itu berkobaran api yang besar. Rebusan manusia !
Ketika kerumunan sudah lumayan banyak, di selang-seling akrobat dan cerita, Pak Koco mulai mempromosikan obat-obatnya. Yang saya ingat, obatnya itu antara lain mampu menyembuhkan perut yang sakit dengan kondisi yang ia sebut sebagai mblabak, atau mengeras seperti papan. Mungkin, kalau saya tidak salah, hal semacam itu merupakan kondisi parah untuk sakit sirosis, pengerasan hati. Ayah saya, Kastanto Herndrowiharso, meninggal tahun 1982 dalam usia 54 tahun, juga akibat sakit yang sama.
Khasiat lain dari obat Pak Koco adalah untuk melancarkan aliran kencing. Dalam demo, botol obatnya itu ia kocok-kocok, lalu mengeluarkan desis dan pancaran air. Persis adegan ritus pembalap F1 seperti Michael Schumacher atau Lewis Hamilton ketika melakukan wine celebration setelah dianugerahi trofi kemenangan.
Ekonomi Atensi. Strategi bisnis Pak Koco saat itu kalau di jaman sekarang tidak ubahnya tayangan pelbagai infotainment di televisi-televisi kita. Para selebritis kita itu berulah dari A sampai Z agar menarik perhatian media dan pemirsa. Kalau perlu, dan ini sering terjadi, hal-hal heboh itu justru dikreasi, diada-adakan. Mereka berebut perhatian, karena salah satu sistem ekonomi yang dominan dan berlaku dewasa ini adalah attention economy, ekonomi atensi.
Teladan dari Pak Koco dan ulah para selebritis itu, hemat saya, sebaiknya juga ditiru oleh para pebisnis tanaman hias kita. Sekadar contoh, ketika saya mengitari pelbagai stan dalam Gebyar Wonogiri Flora Expo 2007 (13-22 Juli 2007), saya merasakan suasana bland, hambar, juga seragam antara satu stan dengan stan lainnya. Mungkin saya berlebihan bila mengharap para pebisnis tanaman hias itu tampil berakrobat seperti Pak Koco atau tampil heboh plus seksi seperti para selebritis. Tetapi rata-rata mereka memang tidak melakukan sesuatu “aksi” yang mampu menimbulkan kesan manis yang dapat dijadikan cerita.
Mungkin saya salah, tetapi para pemilik stan tanaman-tanaman hias itu nampak mencolok hanya menomorsatukan transaksi. Jualan. Jualan. Dan jualan. Sepertinya mereka menganggap, atau menaruh harapan satu-satunya bahwa semua orang yang datang adalah mereka yang sudah faham beragam tanaman hias, termasuk yang muahal-muahal itu, dan lalu siap membelinya.
Fasilitas promosi yang mereka sediakan paling banter hanyalah kartu nama, tetapi banyak juga yang tidak memilikinya. Tidak banyak yang menyediakan brosur yang bersifat edukatif, misalnya menerangkan manfaat tanaman hias bagi kesehatan atau kesejahteraan rohani sampai hal-hal teknis seperti pengaruh Ph tanah bagi tanaman, cara-cara mengukur dan solusi lainnya.
Tidak ada pula aksi untuk melibatkan pengunjung. Misal mengadakan kuis dengan hadiah-hadiah sederhana, baik pot, tanaman hias yang masih kecil sampai kaos yang diumumkan ketika pameran akan usai. Saya pribadi rada gatal kalau mendengar beberapa pebisnis tanaman hias yang gemar koar-koar bahwa tanaman hiasnya laku dengan harga berjut-jut. Kemudian jengkel berat saya kumat kalau melihat mereka itu begitu pelit untuk mengadakan aksi promosi guna mendidik konsumen atau melakukan aksi kehumasan guna membangun nama baik atau reputasi, demi kelanggengan masa depan bisnis mereka.
Pak Koco berusaha menjual produk obatnya dengan cara menarik. Menabuh genderang. Bercerita. Memberikan informasi. Paling tidak, ia tampil memikat sehingga mampu meninggalkan kesan. Bahkan sampai berpuluh tahun kemudian, hingga menjadi cerita yang Anda baca ini.
Nah Anda para pebisnis tanaman hias, sesudah Anda mengikuti sesuatu pameran atau bursa, adakah seseorang yang kemudian mengontak Anda ? Saya harapkan itu yang terjadi. Sukses untuk Anda.
Wonogiri, 22/8/2007
mgf
Rebusan Manusia. Pak Koco sosoknya ramping. Rambutnya ikal, wajahnya mirip almarhum pelawak Leysus. Rumahnya di Gerdu, belakang terminal bis Wonogiri. Di tahun 60-an ia menjadi buah bibir anak-anak Wonogiri. Ia pandai berakrobat, naik sepeda beroda satu. Ia pun pandai bercerita. Panggungnya adalah tanah lapang di bagian utara pasar Wonogiri, di bawah rindangnya pohon trembesi raksasa.
Pak Koco adalah penjual obat. Bagi kami, anak-anak setingkat SD, obat yang beliau jual tidak menjadi perhatian utama kami. Yang menarik adalah cerita Pak Koco. Juga akrobatnya. Cerita yang sering ia tuturkan adalah mengenai pelbagai macam cara orang untuk bisa cepat kaya secara mendadak, dengan mencari pesugihan, atau bekerja sama dengan roh halus atau setan.
Di sekitar tempat duduk sang asistennya bertalu-talu menabuh genderang, bertebaran gambar beragam teknik mencari pesugihan itu. Dan, menariknya, ada pula gambar-gambar mengenai hukuman dari Allah untuk mereka yang melakukan hal sesat itu. Misalnya ada gambar rangka bangunan rumah, tetapi konstruksinya terdiri dari sambungan tubuh-tubuh manusia. Ada pula manusia yang masuk bejana, sementara di bagian bawah bejana itu berkobaran api yang besar. Rebusan manusia !
Ketika kerumunan sudah lumayan banyak, di selang-seling akrobat dan cerita, Pak Koco mulai mempromosikan obat-obatnya. Yang saya ingat, obatnya itu antara lain mampu menyembuhkan perut yang sakit dengan kondisi yang ia sebut sebagai mblabak, atau mengeras seperti papan. Mungkin, kalau saya tidak salah, hal semacam itu merupakan kondisi parah untuk sakit sirosis, pengerasan hati. Ayah saya, Kastanto Herndrowiharso, meninggal tahun 1982 dalam usia 54 tahun, juga akibat sakit yang sama.
Khasiat lain dari obat Pak Koco adalah untuk melancarkan aliran kencing. Dalam demo, botol obatnya itu ia kocok-kocok, lalu mengeluarkan desis dan pancaran air. Persis adegan ritus pembalap F1 seperti Michael Schumacher atau Lewis Hamilton ketika melakukan wine celebration setelah dianugerahi trofi kemenangan.
Ekonomi Atensi. Strategi bisnis Pak Koco saat itu kalau di jaman sekarang tidak ubahnya tayangan pelbagai infotainment di televisi-televisi kita. Para selebritis kita itu berulah dari A sampai Z agar menarik perhatian media dan pemirsa. Kalau perlu, dan ini sering terjadi, hal-hal heboh itu justru dikreasi, diada-adakan. Mereka berebut perhatian, karena salah satu sistem ekonomi yang dominan dan berlaku dewasa ini adalah attention economy, ekonomi atensi.
Teladan dari Pak Koco dan ulah para selebritis itu, hemat saya, sebaiknya juga ditiru oleh para pebisnis tanaman hias kita. Sekadar contoh, ketika saya mengitari pelbagai stan dalam Gebyar Wonogiri Flora Expo 2007 (13-22 Juli 2007), saya merasakan suasana bland, hambar, juga seragam antara satu stan dengan stan lainnya. Mungkin saya berlebihan bila mengharap para pebisnis tanaman hias itu tampil berakrobat seperti Pak Koco atau tampil heboh plus seksi seperti para selebritis. Tetapi rata-rata mereka memang tidak melakukan sesuatu “aksi” yang mampu menimbulkan kesan manis yang dapat dijadikan cerita.
Mungkin saya salah, tetapi para pemilik stan tanaman-tanaman hias itu nampak mencolok hanya menomorsatukan transaksi. Jualan. Jualan. Dan jualan. Sepertinya mereka menganggap, atau menaruh harapan satu-satunya bahwa semua orang yang datang adalah mereka yang sudah faham beragam tanaman hias, termasuk yang muahal-muahal itu, dan lalu siap membelinya.
Fasilitas promosi yang mereka sediakan paling banter hanyalah kartu nama, tetapi banyak juga yang tidak memilikinya. Tidak banyak yang menyediakan brosur yang bersifat edukatif, misalnya menerangkan manfaat tanaman hias bagi kesehatan atau kesejahteraan rohani sampai hal-hal teknis seperti pengaruh Ph tanah bagi tanaman, cara-cara mengukur dan solusi lainnya.
Tidak ada pula aksi untuk melibatkan pengunjung. Misal mengadakan kuis dengan hadiah-hadiah sederhana, baik pot, tanaman hias yang masih kecil sampai kaos yang diumumkan ketika pameran akan usai. Saya pribadi rada gatal kalau mendengar beberapa pebisnis tanaman hias yang gemar koar-koar bahwa tanaman hiasnya laku dengan harga berjut-jut. Kemudian jengkel berat saya kumat kalau melihat mereka itu begitu pelit untuk mengadakan aksi promosi guna mendidik konsumen atau melakukan aksi kehumasan guna membangun nama baik atau reputasi, demi kelanggengan masa depan bisnis mereka.
Pak Koco berusaha menjual produk obatnya dengan cara menarik. Menabuh genderang. Bercerita. Memberikan informasi. Paling tidak, ia tampil memikat sehingga mampu meninggalkan kesan. Bahkan sampai berpuluh tahun kemudian, hingga menjadi cerita yang Anda baca ini.
Nah Anda para pebisnis tanaman hias, sesudah Anda mengikuti sesuatu pameran atau bursa, adakah seseorang yang kemudian mengontak Anda ? Saya harapkan itu yang terjadi. Sukses untuk Anda.
Wonogiri, 22/8/2007
mgf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar