Cerita di atas terlintas ketika saya bertemu seorang mantan tetangga di kampung Kajen, Wonogiri. Karena memang ia sudah lama pindah dari kampung saya. Saya ketemunya di bursa dan pameran tanaman hias di pelataran rumah dinas Bupati Wonogiri, Juni 2007 lalu. Mantan tetangga itu ikut berpameran, oh, rupanya ia kini berbisnis tanaman hias. Rada membuat saya surprise.
Karena beberapa tahun lalu, ia saya pergoki di terminal bis Pulogadung, Jakarta, memborong pelbagai peralatan elektronik untuk rumah tangga. Ia kulakan dari Glodok untuk dijual kembali di Wonogiri. Saat itu, awal tahun 90-an, saya tingga di Jakarta. Sekitar tahun 2005-2006, ia saya temui di Wonogiri sedang menunggu gerai yang menjual telepon genggam. Sedang saat ini ia berbisnis tanaman hias !
Bukan main. Bagi saya, perpindahan seseorang dari bisnis satu ke jenis bisnis yang lain adalah hal yang biasa-biasa saja. Siapa saja sah melakukannya. Mungkin justru hal itu menunjukkan dirinya memiliki kelenturan atau naluri bisnis yang tajam, karena mampu mengendus di mana keuntungan besar itu saat ini berada dan menantang untuk menggali, mengeruknya. Eforia tanaman hias di Indonesia yang marak dewasa ini tentu menjadi magnit yang kuat bagi banyak sekali pebisnis kelas “lincah” semacam itu.
Sementara itu, saya juga baru saja bertemu dengan pebisnis tanaman hias lainnya. Ia memiliki kolam ikan, berisi koi dan comet, sebagai bisnisnya sejak tahun 2005. Untuk mengurangi kesan gersang dari kolamnya, yang didominasi tembok dan semen, telah ia tempatkan pelbagai tanaman hias. Sungguh hal tak terduga, tidak sedikit konsumen yang semula membeli ikan, juga membeli pot-pot tanaman hiasnya itu. Kini ikan, lobster air tawar dan tanaman hias menyatu dalam nursery miliknya itu.
“Saya berbisnis semua itu karena hobi,” katanya. Berhubung hobi, tentu di sana ada cinta. Dan hal itu, tuturnya, kadang memberi “mukjijat” dalam bisnis. Ceritanya, ia membeli tanaman anthurium muda. Ia rawat dengan baik, hingga tumbuh. Ia beli semula sekitar 600 ribu. Setelah tumbuh, ia perkirakan harganya yang pantas adalah 1 juta. Suatu hari datang konsumen yang tertarik dengan anthurium yang satu ini. Serta merta, si konsumen itu menawar awal dengan harga 1,25 juta.
Teman baru saya itu sertamerta menyetujui transaksi tersebut. Konon, “kelebihan” laba sebesar 250 ribu itu kemudian ia sumbangkan untuk pembangunan tempat ibadah di SMAnya dulu.
Wonogiri, 21/8/2007
mgf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar