Rabu, 19 September 2007
Pria Mabuk Gelombang Cinta
Kalau Anda menonton pameran tanaman hias, cermatlah melihat sekeliling. Semoga saya tidak salah, karena menurut pengamatan saya, sebagian besar yang menjaga pelbagai stan itu kebanyakan kaum pria. Ada apa ini ? Kalau selama ini bunga, tanaman hias dan hal yang indah-indah sering dikonotasikan sebagai ranahnya kaum perempuan, tetapi di jaman orang mabuk Jenmanii dan asyik masyuk dalam ayunan pesona Gelombang Cinta, justru kaum pria yang mendominasinya.
Ada dugaan, karena dalam gejolak tanaman hias saat ini sangat kental bau bisnisnya. Juga bau spekulasinya. Tentu saja menyangkut perputaran uang yang tinggi. Apalagi bila mengingat tesisnya Deborah Tannen bahwa di kalangan pria itu lajim terjadi hubungan secara hirarkis, ada yang di atas dan ada yang harus di bawah, kalah-menang, persaingan, maka hal itu pula yang terjadi dalam boom tanaman hias dewasa ini. Secara spekulatif dapat diartikan, dalam boom tanaman hias dewasa ini orientasi utamanya adalah kalah atau menang, untung atau rugi, dalam arti memperoleh atau kehilangan lembaran-lembaran rupiah. Hubungan semacam itu justru yang sering disingkiri kaum perempuan.
Tidak ada yang salah dengan pendekatan bisnis semacam itu. Tetapi alangkah mulianya, bila nilai-nilai keindahan, sentuhan feminitas yang lembut dan manfaat ekologis dari tanaman hias itu juga dimunculkan. Misalnya bagaimana mereka-mereka yang sudah menjadi jutawan itu sukarela menghias arena publik terbuka dengan tanaman-tanaman yang mampu menyedapkan mata, memperteduh suasana dan menyehatkan kita semua warga. Apalagi di tengah ancaman serius bahaya pemanasan global dewasa ini terhadap satu-satunya bumi yang kita huni ini, ikhtiar menanam satu pohon saja sudah merupakan usaha yang bermakna.
Bambang Haryanto
Pemilik tanaman lavender (anti nyamuk)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia
Ada dugaan, karena dalam gejolak tanaman hias saat ini sangat kental bau bisnisnya. Juga bau spekulasinya. Tentu saja menyangkut perputaran uang yang tinggi. Apalagi bila mengingat tesisnya Deborah Tannen bahwa di kalangan pria itu lajim terjadi hubungan secara hirarkis, ada yang di atas dan ada yang harus di bawah, kalah-menang, persaingan, maka hal itu pula yang terjadi dalam boom tanaman hias dewasa ini. Secara spekulatif dapat diartikan, dalam boom tanaman hias dewasa ini orientasi utamanya adalah kalah atau menang, untung atau rugi, dalam arti memperoleh atau kehilangan lembaran-lembaran rupiah. Hubungan semacam itu justru yang sering disingkiri kaum perempuan.
Tidak ada yang salah dengan pendekatan bisnis semacam itu. Tetapi alangkah mulianya, bila nilai-nilai keindahan, sentuhan feminitas yang lembut dan manfaat ekologis dari tanaman hias itu juga dimunculkan. Misalnya bagaimana mereka-mereka yang sudah menjadi jutawan itu sukarela menghias arena publik terbuka dengan tanaman-tanaman yang mampu menyedapkan mata, memperteduh suasana dan menyehatkan kita semua warga. Apalagi di tengah ancaman serius bahaya pemanasan global dewasa ini terhadap satu-satunya bumi yang kita huni ini, ikhtiar menanam satu pohon saja sudah merupakan usaha yang bermakna.
Bambang Haryanto
Pemilik tanaman lavender (anti nyamuk)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia
Rabu, 22 Agustus 2007
Speaking Another Language
Oleh : Bambang Haryanto
Inferno-nya Dante. Telepon genggam jadi bahan lelucon. Adalah majalah terkenal Reader’s Digest pernah memuat cerita tentang seorang penjaja yang menawarkan telepon jenis baru, yang membuat pemiliknya mudah dihubungi selama 24 jam sehari. Yang ditawari itu kemudian malah menukas, “Bila Dante yang Anda tawari maka ia akan menambahkan lagi satu neraka dalam karyanya !”
Yang disebut Dante itu adalah penyair Italia, Dante Alighieri (1265–1321), yang menulis karya terkenal Divina Commedia. Salah satu baitnya yang terkenal mengisahkan bahwa di depan pintu inferno, neraka, antara lain tertulis inskripsi berbunyi, per me si va nella città dolente, per me si va nell' eterno dolore , melewati diriku adalah jalan menuju kota penuh duka, melaluiku adalah jalan menuju siksaan yang abadi.
Terus terang, saya tidak tertawa membaca lelucon “kelas tinggi” dari Reader’s Digest itu. Tetapi gara-gara telepon genggam saya pernah merasa sedang berada di tengah “neraka.” Ceritanya : sang pemilik telepon genggam yang berhasil “menyiksa” saya itu adalah pemilik nursery tanaman hias. Saya merasa tersiksa mungkin sebagai akibat logis betapa bisnis tanaman hias, paling tidak bisnis teman baru saya itu, sedang mengalami booming yang membuat dirinya bertubi-tubi terus dihubungi. Dua telepon genggamnya tak pernah terhenti deringnya dan membuat ia terus sibuk dengan keduanya. Padahal, saat itu ia sedang bertamu di rumah saya.
Sebut saja, mungkin saya sedang sial saat itu. Minimal saya rupanya sedang ketamuan seseorang, yang katakanlah, kurang mampu memiliki rasa empati. Ia sepertinya tak memahami untuk mampu berbicara dalam “bahasa” lain. Bahasa lain itu bukanlah bahasa Italia, Jerman atau Perancis (mudah mengingatkan saya akan Anez dan Grigrinya), tetapi pemahaman terhadap perspektif dari lawan bicara. Gampangnya : apa yang kira-kira akan ia rasakan bila lawan bicaranya selalu sibuk berfokus pada telepon genggam seperti yang ia lakukan saat itu ?
Nasehat Joe Girard. Teman baru saya yang pebisnis tanaman hias itu, hemat saya, sebaiknya membaca buku How To Sell Yourself-nya Joe Girard (1981). Joe Girard ini tercatat di The Guinness Book of World Record sebagai penjaja, salesman terhebat di dunia.
Joe Girard dalam bukunya itu telah mengutip kiat kampiun pemasaran lainnya, yaitu Buck Rodgers dari perusahaan raksasa komputer IBM. Tercatat bahwa Buck Rodgers selalu menuntut personil armada penjualan komputernya agar mampu berbahasa lain, .speaking another language, yang tidak lain adalah bahasa calon pembelinya. Bayangkan betapa membingungkan apabila penjual komputer IBM itu berkata seperti berikut ini kepada calon pembelinya :
“Saya ingin menjual kepada Anda sistem elektronik transistor yang unitnya saling terintegrasi, mampu diprogram dengan masukan ribuan input, terentang dari kontrol inventarisasi, membuat faktur, sampai fasilitas penyimpanan bank memori, data yang mudah diakses, kemampuan antarmuka dengan seluruh fasilitas pendukung”.
Paparan berbau teknis itu mungkin terdengar keren, tetapi para konsumen jelas tidak memahaminya. Buck Rodgers meralatnya, dengan pernyataan bahwa hal tersebut merupakan kekeliruan yang fatal. “Kita berbisnis adalah memberikan solusi untuk memecahkan problem para pelanggan kita”, tuturnya. Ia menekankan bahwa perusahaannya tidaklah menjual komputer, melainkan menjual manfaat komputer bersangkutan. Rodgers pun memberikan koreksi terhadap bahasa penjualan yang berbau esoterik dan sangat teknis tadi ke dalam bahasa yang lebih mudah difahami oleh konsumen kebanyakan. Bunyinya :
“Saya memiliki sarana yang mampu mendukung Anda mengerjakan pekerjaan secara lebih mudah, mampu mengurangi biaya operasional, sehingga perusahaan Anda mampu memberikan layanan yang lebih baik lagi kepada para pelanggan Anda.”
Sebagai pebisnis, fahamilah untuk selalu berusaha berbicara dari kacamata konsumen atau lawan bicara Anda. Baik ketika terjadi kontak secara langsung, dalam teks brosur atau leaflet Anda, juga dalam situs web atau blog Anda di Internet. Dengan pola pikir seperti ini Anda akan terancam terhindar masuk “neraka” di mana dalam konteks teman baru saya tadi, barangkali “neraka” bagi dirinya adalah : terus terang, saya harus berpikir ulang bila hendak menemuinya lagi. Teman baru saya itu telah gagal dalam menjual diri pribadinya !
Wonogiri, 22/8/2007
mgf
Inferno-nya Dante. Telepon genggam jadi bahan lelucon. Adalah majalah terkenal Reader’s Digest pernah memuat cerita tentang seorang penjaja yang menawarkan telepon jenis baru, yang membuat pemiliknya mudah dihubungi selama 24 jam sehari. Yang ditawari itu kemudian malah menukas, “Bila Dante yang Anda tawari maka ia akan menambahkan lagi satu neraka dalam karyanya !”
Yang disebut Dante itu adalah penyair Italia, Dante Alighieri (1265–1321), yang menulis karya terkenal Divina Commedia. Salah satu baitnya yang terkenal mengisahkan bahwa di depan pintu inferno, neraka, antara lain tertulis inskripsi berbunyi, per me si va nella città dolente, per me si va nell' eterno dolore , melewati diriku adalah jalan menuju kota penuh duka, melaluiku adalah jalan menuju siksaan yang abadi.
Terus terang, saya tidak tertawa membaca lelucon “kelas tinggi” dari Reader’s Digest itu. Tetapi gara-gara telepon genggam saya pernah merasa sedang berada di tengah “neraka.” Ceritanya : sang pemilik telepon genggam yang berhasil “menyiksa” saya itu adalah pemilik nursery tanaman hias. Saya merasa tersiksa mungkin sebagai akibat logis betapa bisnis tanaman hias, paling tidak bisnis teman baru saya itu, sedang mengalami booming yang membuat dirinya bertubi-tubi terus dihubungi. Dua telepon genggamnya tak pernah terhenti deringnya dan membuat ia terus sibuk dengan keduanya. Padahal, saat itu ia sedang bertamu di rumah saya.
Sebut saja, mungkin saya sedang sial saat itu. Minimal saya rupanya sedang ketamuan seseorang, yang katakanlah, kurang mampu memiliki rasa empati. Ia sepertinya tak memahami untuk mampu berbicara dalam “bahasa” lain. Bahasa lain itu bukanlah bahasa Italia, Jerman atau Perancis (mudah mengingatkan saya akan Anez dan Grigrinya), tetapi pemahaman terhadap perspektif dari lawan bicara. Gampangnya : apa yang kira-kira akan ia rasakan bila lawan bicaranya selalu sibuk berfokus pada telepon genggam seperti yang ia lakukan saat itu ?
Nasehat Joe Girard. Teman baru saya yang pebisnis tanaman hias itu, hemat saya, sebaiknya membaca buku How To Sell Yourself-nya Joe Girard (1981). Joe Girard ini tercatat di The Guinness Book of World Record sebagai penjaja, salesman terhebat di dunia.
Joe Girard dalam bukunya itu telah mengutip kiat kampiun pemasaran lainnya, yaitu Buck Rodgers dari perusahaan raksasa komputer IBM. Tercatat bahwa Buck Rodgers selalu menuntut personil armada penjualan komputernya agar mampu berbahasa lain, .speaking another language, yang tidak lain adalah bahasa calon pembelinya. Bayangkan betapa membingungkan apabila penjual komputer IBM itu berkata seperti berikut ini kepada calon pembelinya :
“Saya ingin menjual kepada Anda sistem elektronik transistor yang unitnya saling terintegrasi, mampu diprogram dengan masukan ribuan input, terentang dari kontrol inventarisasi, membuat faktur, sampai fasilitas penyimpanan bank memori, data yang mudah diakses, kemampuan antarmuka dengan seluruh fasilitas pendukung”.
Paparan berbau teknis itu mungkin terdengar keren, tetapi para konsumen jelas tidak memahaminya. Buck Rodgers meralatnya, dengan pernyataan bahwa hal tersebut merupakan kekeliruan yang fatal. “Kita berbisnis adalah memberikan solusi untuk memecahkan problem para pelanggan kita”, tuturnya. Ia menekankan bahwa perusahaannya tidaklah menjual komputer, melainkan menjual manfaat komputer bersangkutan. Rodgers pun memberikan koreksi terhadap bahasa penjualan yang berbau esoterik dan sangat teknis tadi ke dalam bahasa yang lebih mudah difahami oleh konsumen kebanyakan. Bunyinya :
“Saya memiliki sarana yang mampu mendukung Anda mengerjakan pekerjaan secara lebih mudah, mampu mengurangi biaya operasional, sehingga perusahaan Anda mampu memberikan layanan yang lebih baik lagi kepada para pelanggan Anda.”
Sebagai pebisnis, fahamilah untuk selalu berusaha berbicara dari kacamata konsumen atau lawan bicara Anda. Baik ketika terjadi kontak secara langsung, dalam teks brosur atau leaflet Anda, juga dalam situs web atau blog Anda di Internet. Dengan pola pikir seperti ini Anda akan terancam terhindar masuk “neraka” di mana dalam konteks teman baru saya tadi, barangkali “neraka” bagi dirinya adalah : terus terang, saya harus berpikir ulang bila hendak menemuinya lagi. Teman baru saya itu telah gagal dalam menjual diri pribadinya !
Wonogiri, 22/8/2007
mgf
Label:
buck rodgers,
dante,
empati,
inferno,
joe girard,
pemasaran diri pribadi
Selasa, 21 Agustus 2007
Akrobat Pak Koco dan Pebisnis Tanaman Hias
Oleh : Bambang Haryanto
Rebusan Manusia. Pak Koco sosoknya ramping. Rambutnya ikal, wajahnya mirip almarhum pelawak Leysus. Rumahnya di Gerdu, belakang terminal bis Wonogiri. Di tahun 60-an ia menjadi buah bibir anak-anak Wonogiri. Ia pandai berakrobat, naik sepeda beroda satu. Ia pun pandai bercerita. Panggungnya adalah tanah lapang di bagian utara pasar Wonogiri, di bawah rindangnya pohon trembesi raksasa.
Pak Koco adalah penjual obat. Bagi kami, anak-anak setingkat SD, obat yang beliau jual tidak menjadi perhatian utama kami. Yang menarik adalah cerita Pak Koco. Juga akrobatnya. Cerita yang sering ia tuturkan adalah mengenai pelbagai macam cara orang untuk bisa cepat kaya secara mendadak, dengan mencari pesugihan, atau bekerja sama dengan roh halus atau setan.
Di sekitar tempat duduk sang asistennya bertalu-talu menabuh genderang, bertebaran gambar beragam teknik mencari pesugihan itu. Dan, menariknya, ada pula gambar-gambar mengenai hukuman dari Allah untuk mereka yang melakukan hal sesat itu. Misalnya ada gambar rangka bangunan rumah, tetapi konstruksinya terdiri dari sambungan tubuh-tubuh manusia. Ada pula manusia yang masuk bejana, sementara di bagian bawah bejana itu berkobaran api yang besar. Rebusan manusia !
Ketika kerumunan sudah lumayan banyak, di selang-seling akrobat dan cerita, Pak Koco mulai mempromosikan obat-obatnya. Yang saya ingat, obatnya itu antara lain mampu menyembuhkan perut yang sakit dengan kondisi yang ia sebut sebagai mblabak, atau mengeras seperti papan. Mungkin, kalau saya tidak salah, hal semacam itu merupakan kondisi parah untuk sakit sirosis, pengerasan hati. Ayah saya, Kastanto Herndrowiharso, meninggal tahun 1982 dalam usia 54 tahun, juga akibat sakit yang sama.
Khasiat lain dari obat Pak Koco adalah untuk melancarkan aliran kencing. Dalam demo, botol obatnya itu ia kocok-kocok, lalu mengeluarkan desis dan pancaran air. Persis adegan ritus pembalap F1 seperti Michael Schumacher atau Lewis Hamilton ketika melakukan wine celebration setelah dianugerahi trofi kemenangan.
Ekonomi Atensi. Strategi bisnis Pak Koco saat itu kalau di jaman sekarang tidak ubahnya tayangan pelbagai infotainment di televisi-televisi kita. Para selebritis kita itu berulah dari A sampai Z agar menarik perhatian media dan pemirsa. Kalau perlu, dan ini sering terjadi, hal-hal heboh itu justru dikreasi, diada-adakan. Mereka berebut perhatian, karena salah satu sistem ekonomi yang dominan dan berlaku dewasa ini adalah attention economy, ekonomi atensi.
Teladan dari Pak Koco dan ulah para selebritis itu, hemat saya, sebaiknya juga ditiru oleh para pebisnis tanaman hias kita. Sekadar contoh, ketika saya mengitari pelbagai stan dalam Gebyar Wonogiri Flora Expo 2007 (13-22 Juli 2007), saya merasakan suasana bland, hambar, juga seragam antara satu stan dengan stan lainnya. Mungkin saya berlebihan bila mengharap para pebisnis tanaman hias itu tampil berakrobat seperti Pak Koco atau tampil heboh plus seksi seperti para selebritis. Tetapi rata-rata mereka memang tidak melakukan sesuatu “aksi” yang mampu menimbulkan kesan manis yang dapat dijadikan cerita.
Mungkin saya salah, tetapi para pemilik stan tanaman-tanaman hias itu nampak mencolok hanya menomorsatukan transaksi. Jualan. Jualan. Dan jualan. Sepertinya mereka menganggap, atau menaruh harapan satu-satunya bahwa semua orang yang datang adalah mereka yang sudah faham beragam tanaman hias, termasuk yang muahal-muahal itu, dan lalu siap membelinya.
Fasilitas promosi yang mereka sediakan paling banter hanyalah kartu nama, tetapi banyak juga yang tidak memilikinya. Tidak banyak yang menyediakan brosur yang bersifat edukatif, misalnya menerangkan manfaat tanaman hias bagi kesehatan atau kesejahteraan rohani sampai hal-hal teknis seperti pengaruh Ph tanah bagi tanaman, cara-cara mengukur dan solusi lainnya.
Tidak ada pula aksi untuk melibatkan pengunjung. Misal mengadakan kuis dengan hadiah-hadiah sederhana, baik pot, tanaman hias yang masih kecil sampai kaos yang diumumkan ketika pameran akan usai. Saya pribadi rada gatal kalau mendengar beberapa pebisnis tanaman hias yang gemar koar-koar bahwa tanaman hiasnya laku dengan harga berjut-jut. Kemudian jengkel berat saya kumat kalau melihat mereka itu begitu pelit untuk mengadakan aksi promosi guna mendidik konsumen atau melakukan aksi kehumasan guna membangun nama baik atau reputasi, demi kelanggengan masa depan bisnis mereka.
Pak Koco berusaha menjual produk obatnya dengan cara menarik. Menabuh genderang. Bercerita. Memberikan informasi. Paling tidak, ia tampil memikat sehingga mampu meninggalkan kesan. Bahkan sampai berpuluh tahun kemudian, hingga menjadi cerita yang Anda baca ini.
Nah Anda para pebisnis tanaman hias, sesudah Anda mengikuti sesuatu pameran atau bursa, adakah seseorang yang kemudian mengontak Anda ? Saya harapkan itu yang terjadi. Sukses untuk Anda.
Wonogiri, 22/8/2007
mgf
Rebusan Manusia. Pak Koco sosoknya ramping. Rambutnya ikal, wajahnya mirip almarhum pelawak Leysus. Rumahnya di Gerdu, belakang terminal bis Wonogiri. Di tahun 60-an ia menjadi buah bibir anak-anak Wonogiri. Ia pandai berakrobat, naik sepeda beroda satu. Ia pun pandai bercerita. Panggungnya adalah tanah lapang di bagian utara pasar Wonogiri, di bawah rindangnya pohon trembesi raksasa.
Pak Koco adalah penjual obat. Bagi kami, anak-anak setingkat SD, obat yang beliau jual tidak menjadi perhatian utama kami. Yang menarik adalah cerita Pak Koco. Juga akrobatnya. Cerita yang sering ia tuturkan adalah mengenai pelbagai macam cara orang untuk bisa cepat kaya secara mendadak, dengan mencari pesugihan, atau bekerja sama dengan roh halus atau setan.
Di sekitar tempat duduk sang asistennya bertalu-talu menabuh genderang, bertebaran gambar beragam teknik mencari pesugihan itu. Dan, menariknya, ada pula gambar-gambar mengenai hukuman dari Allah untuk mereka yang melakukan hal sesat itu. Misalnya ada gambar rangka bangunan rumah, tetapi konstruksinya terdiri dari sambungan tubuh-tubuh manusia. Ada pula manusia yang masuk bejana, sementara di bagian bawah bejana itu berkobaran api yang besar. Rebusan manusia !
Ketika kerumunan sudah lumayan banyak, di selang-seling akrobat dan cerita, Pak Koco mulai mempromosikan obat-obatnya. Yang saya ingat, obatnya itu antara lain mampu menyembuhkan perut yang sakit dengan kondisi yang ia sebut sebagai mblabak, atau mengeras seperti papan. Mungkin, kalau saya tidak salah, hal semacam itu merupakan kondisi parah untuk sakit sirosis, pengerasan hati. Ayah saya, Kastanto Herndrowiharso, meninggal tahun 1982 dalam usia 54 tahun, juga akibat sakit yang sama.
Khasiat lain dari obat Pak Koco adalah untuk melancarkan aliran kencing. Dalam demo, botol obatnya itu ia kocok-kocok, lalu mengeluarkan desis dan pancaran air. Persis adegan ritus pembalap F1 seperti Michael Schumacher atau Lewis Hamilton ketika melakukan wine celebration setelah dianugerahi trofi kemenangan.
Ekonomi Atensi. Strategi bisnis Pak Koco saat itu kalau di jaman sekarang tidak ubahnya tayangan pelbagai infotainment di televisi-televisi kita. Para selebritis kita itu berulah dari A sampai Z agar menarik perhatian media dan pemirsa. Kalau perlu, dan ini sering terjadi, hal-hal heboh itu justru dikreasi, diada-adakan. Mereka berebut perhatian, karena salah satu sistem ekonomi yang dominan dan berlaku dewasa ini adalah attention economy, ekonomi atensi.
Teladan dari Pak Koco dan ulah para selebritis itu, hemat saya, sebaiknya juga ditiru oleh para pebisnis tanaman hias kita. Sekadar contoh, ketika saya mengitari pelbagai stan dalam Gebyar Wonogiri Flora Expo 2007 (13-22 Juli 2007), saya merasakan suasana bland, hambar, juga seragam antara satu stan dengan stan lainnya. Mungkin saya berlebihan bila mengharap para pebisnis tanaman hias itu tampil berakrobat seperti Pak Koco atau tampil heboh plus seksi seperti para selebritis. Tetapi rata-rata mereka memang tidak melakukan sesuatu “aksi” yang mampu menimbulkan kesan manis yang dapat dijadikan cerita.
Mungkin saya salah, tetapi para pemilik stan tanaman-tanaman hias itu nampak mencolok hanya menomorsatukan transaksi. Jualan. Jualan. Dan jualan. Sepertinya mereka menganggap, atau menaruh harapan satu-satunya bahwa semua orang yang datang adalah mereka yang sudah faham beragam tanaman hias, termasuk yang muahal-muahal itu, dan lalu siap membelinya.
Fasilitas promosi yang mereka sediakan paling banter hanyalah kartu nama, tetapi banyak juga yang tidak memilikinya. Tidak banyak yang menyediakan brosur yang bersifat edukatif, misalnya menerangkan manfaat tanaman hias bagi kesehatan atau kesejahteraan rohani sampai hal-hal teknis seperti pengaruh Ph tanah bagi tanaman, cara-cara mengukur dan solusi lainnya.
Tidak ada pula aksi untuk melibatkan pengunjung. Misal mengadakan kuis dengan hadiah-hadiah sederhana, baik pot, tanaman hias yang masih kecil sampai kaos yang diumumkan ketika pameran akan usai. Saya pribadi rada gatal kalau mendengar beberapa pebisnis tanaman hias yang gemar koar-koar bahwa tanaman hiasnya laku dengan harga berjut-jut. Kemudian jengkel berat saya kumat kalau melihat mereka itu begitu pelit untuk mengadakan aksi promosi guna mendidik konsumen atau melakukan aksi kehumasan guna membangun nama baik atau reputasi, demi kelanggengan masa depan bisnis mereka.
Pak Koco berusaha menjual produk obatnya dengan cara menarik. Menabuh genderang. Bercerita. Memberikan informasi. Paling tidak, ia tampil memikat sehingga mampu meninggalkan kesan. Bahkan sampai berpuluh tahun kemudian, hingga menjadi cerita yang Anda baca ini.
Nah Anda para pebisnis tanaman hias, sesudah Anda mengikuti sesuatu pameran atau bursa, adakah seseorang yang kemudian mengontak Anda ? Saya harapkan itu yang terjadi. Sukses untuk Anda.
Wonogiri, 22/8/2007
mgf
Senin, 20 Agustus 2007
Tanaman Hias : Demi Uang dan Tuntutan Hati
Oleh : Bambang Haryanto
Anjing Yang Mati. Di sekolah, seorang gadis kecil masih nampak dibalut kesedihan. Ia baru saja kehilangan seekor anjing kesayangannya. Anjing itu mati karena tertabrak kendaraan. Si gadis kecil itu merasa kehilangan. Ketika cerita sedih itu ia ungkapkan, ada seorang temannya justru meledeknya. “Baru kehilangan anjing saja sudah sedih. Nenekku juga baru saja meninggal, tetapi aku tak sesedih seperti dirimu,” kata si badung. Gadis si pemilik anjing segera membalas, tak kalah sengit : “Kau tidak sedih karena kau tidak merawat nenekmu sejak dirinya masih kecil !”
Cerita di atas terlintas ketika saya bertemu seorang mantan tetangga di kampung Kajen, Wonogiri. Karena memang ia sudah lama pindah dari kampung saya. Saya ketemunya di bursa dan pameran tanaman hias di pelataran rumah dinas Bupati Wonogiri, Juni 2007 lalu. Mantan tetangga itu ikut berpameran, oh, rupanya ia kini berbisnis tanaman hias. Rada membuat saya surprise.
Karena beberapa tahun lalu, ia saya pergoki di terminal bis Pulogadung, Jakarta, memborong pelbagai peralatan elektronik untuk rumah tangga. Ia kulakan dari Glodok untuk dijual kembali di Wonogiri. Saat itu, awal tahun 90-an, saya tingga di Jakarta. Sekitar tahun 2005-2006, ia saya temui di Wonogiri sedang menunggu gerai yang menjual telepon genggam. Sedang saat ini ia berbisnis tanaman hias !
Bukan main. Bagi saya, perpindahan seseorang dari bisnis satu ke jenis bisnis yang lain adalah hal yang biasa-biasa saja. Siapa saja sah melakukannya. Mungkin justru hal itu menunjukkan dirinya memiliki kelenturan atau naluri bisnis yang tajam, karena mampu mengendus di mana keuntungan besar itu saat ini berada dan menantang untuk menggali, mengeruknya. Eforia tanaman hias di Indonesia yang marak dewasa ini tentu menjadi magnit yang kuat bagi banyak sekali pebisnis kelas “lincah” semacam itu.
Sementara itu, saya juga baru saja bertemu dengan pebisnis tanaman hias lainnya. Ia memiliki kolam ikan, berisi koi dan comet, sebagai bisnisnya sejak tahun 2005. Untuk mengurangi kesan gersang dari kolamnya, yang didominasi tembok dan semen, telah ia tempatkan pelbagai tanaman hias. Sungguh hal tak terduga, tidak sedikit konsumen yang semula membeli ikan, juga membeli pot-pot tanaman hiasnya itu. Kini ikan, lobster air tawar dan tanaman hias menyatu dalam nursery miliknya itu.
“Saya berbisnis semua itu karena hobi,” katanya. Berhubung hobi, tentu di sana ada cinta. Dan hal itu, tuturnya, kadang memberi “mukjijat” dalam bisnis. Ceritanya, ia membeli tanaman anthurium muda. Ia rawat dengan baik, hingga tumbuh. Ia beli semula sekitar 600 ribu. Setelah tumbuh, ia perkirakan harganya yang pantas adalah 1 juta. Suatu hari datang konsumen yang tertarik dengan anthurium yang satu ini. Serta merta, si konsumen itu menawar awal dengan harga 1,25 juta.
Teman baru saya itu sertamerta menyetujui transaksi tersebut. Konon, “kelebihan” laba sebesar 250 ribu itu kemudian ia sumbangkan untuk pembangunan tempat ibadah di SMAnya dulu.
Wonogiri, 21/8/2007
mgf
Anjing Yang Mati. Di sekolah, seorang gadis kecil masih nampak dibalut kesedihan. Ia baru saja kehilangan seekor anjing kesayangannya. Anjing itu mati karena tertabrak kendaraan. Si gadis kecil itu merasa kehilangan. Ketika cerita sedih itu ia ungkapkan, ada seorang temannya justru meledeknya. “Baru kehilangan anjing saja sudah sedih. Nenekku juga baru saja meninggal, tetapi aku tak sesedih seperti dirimu,” kata si badung. Gadis si pemilik anjing segera membalas, tak kalah sengit : “Kau tidak sedih karena kau tidak merawat nenekmu sejak dirinya masih kecil !”
Cerita di atas terlintas ketika saya bertemu seorang mantan tetangga di kampung Kajen, Wonogiri. Karena memang ia sudah lama pindah dari kampung saya. Saya ketemunya di bursa dan pameran tanaman hias di pelataran rumah dinas Bupati Wonogiri, Juni 2007 lalu. Mantan tetangga itu ikut berpameran, oh, rupanya ia kini berbisnis tanaman hias. Rada membuat saya surprise.
Karena beberapa tahun lalu, ia saya pergoki di terminal bis Pulogadung, Jakarta, memborong pelbagai peralatan elektronik untuk rumah tangga. Ia kulakan dari Glodok untuk dijual kembali di Wonogiri. Saat itu, awal tahun 90-an, saya tingga di Jakarta. Sekitar tahun 2005-2006, ia saya temui di Wonogiri sedang menunggu gerai yang menjual telepon genggam. Sedang saat ini ia berbisnis tanaman hias !
Bukan main. Bagi saya, perpindahan seseorang dari bisnis satu ke jenis bisnis yang lain adalah hal yang biasa-biasa saja. Siapa saja sah melakukannya. Mungkin justru hal itu menunjukkan dirinya memiliki kelenturan atau naluri bisnis yang tajam, karena mampu mengendus di mana keuntungan besar itu saat ini berada dan menantang untuk menggali, mengeruknya. Eforia tanaman hias di Indonesia yang marak dewasa ini tentu menjadi magnit yang kuat bagi banyak sekali pebisnis kelas “lincah” semacam itu.
Sementara itu, saya juga baru saja bertemu dengan pebisnis tanaman hias lainnya. Ia memiliki kolam ikan, berisi koi dan comet, sebagai bisnisnya sejak tahun 2005. Untuk mengurangi kesan gersang dari kolamnya, yang didominasi tembok dan semen, telah ia tempatkan pelbagai tanaman hias. Sungguh hal tak terduga, tidak sedikit konsumen yang semula membeli ikan, juga membeli pot-pot tanaman hiasnya itu. Kini ikan, lobster air tawar dan tanaman hias menyatu dalam nursery miliknya itu.
“Saya berbisnis semua itu karena hobi,” katanya. Berhubung hobi, tentu di sana ada cinta. Dan hal itu, tuturnya, kadang memberi “mukjijat” dalam bisnis. Ceritanya, ia membeli tanaman anthurium muda. Ia rawat dengan baik, hingga tumbuh. Ia beli semula sekitar 600 ribu. Setelah tumbuh, ia perkirakan harganya yang pantas adalah 1 juta. Suatu hari datang konsumen yang tertarik dengan anthurium yang satu ini. Serta merta, si konsumen itu menawar awal dengan harga 1,25 juta.
Teman baru saya itu sertamerta menyetujui transaksi tersebut. Konon, “kelebihan” laba sebesar 250 ribu itu kemudian ia sumbangkan untuk pembangunan tempat ibadah di SMAnya dulu.
Wonogiri, 21/8/2007
mgf
Minggu, 19 Agustus 2007
Mejeng, Kiat Sukses Pebisnis Tanaman Hias !
Oleh : Bambang Haryanto
Pustaka Kita. Sebuah bola voli meluncur dan jatuh di kandang ayam. Seekor ayam jago segera mengumpulkan para babon ayam untuk mengelilingi bola voli tersebut. Kata si ayam jago, "lihatlah, ayam-ayam tetangga kita mampu menghasilkan telur sebesar ini. Kapan kalian juga mampu seperti itu ?"
Ayam jago yang sok tahu. Tetapi menurut pepatah asal Malaysia, perilaku ayam lebih baik dibanding perilaku penyu. Pepatah negeri jiran itu berbunyi, "Jangan jadi penyu yang bertelur ribuan butir tetapi senyap-senyap, melainkan jadilah ayam : hanya bertelur sebutir tetapi riohnya sekampong !"
Dalam konteks dunia komunikasi modern, rioh itu penting. Publisitas itu penting. Artis seperti Ahmad Dhani dan Maia tahu hal itu. Pelaku adegan video porno macam Maria Eva juga tahu. Juga politisi. Bahkan demikian pula halnya kaum teroris. Adalah pakar pemasaran terkenal Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991) yang menandaskan hal itu.
Agar sukses, kata mereka, Anda harus menemukan kuda untuk bisa Anda tunggangi. Tetapi bila kuda kerja keras yang Anda pilih, peluang sukses Anda hanya 1 dari 100. Pilih menunggang kuda IQ ? Hanya 1 banding 75. Mengandalkan kuda pendidikan pun cuma 1 dari 60. Menyerahkan masa depan Anda dengan pasrah nebeng kuda perusahaan tempat Anda kini bekerja ? Peluang sukses Anda masih hanya 1 dari 50 !
Nasehat Ries dan Trout, pilihlah kuda kreativitas yang membuka peluang sukses Anda 1 banding 25. Kuda hobi lebih potensial lagi, 1 banding 20. Sementara kuda rioh sekampong, yaitu publisitas menurut mereka menjanjikan peluang sukses Anda 1 banding 10.
Di perusahaan besar, tandasnya, ketertampakan atau visibilitas lebih penting dibanding kemampuan, abilitas. Lebih bagus bila Anda memang memiliki keduanya. Tetapi bila Anda diminta memilih, pilihlah pada visibilitas itu.
Kuda kencang yang satu ini menjanjikan keberhasilan karena sembilan puluh persen orang bukan termasuk sebagai golongan pemikir yang independen. Kaum mayoritas ini hanya percaya pada informasi yang mereka baca dari suratkabar, mereka dengar dari radio atau mereka tonton dari televisi, atau bersumber dari omongan orang lain. Darimana mereka memperoleh gagasan ? Ya tentu saja dari sumber surat kabar, radio dan juga televisi tersebut.
Agar sukses menunggang kuda publisitas, Anda harus piawai dalam berdansa dengan orang-orang media. Jangan terlalu agresif dan jangan pula terlalu malu-malu kucing. Kunci pokoknya : jangan mengontak mereka, tetapi biarlah mereka yang menghubungi Anda. Tetapi bagaimana agar wartawan atau reporter televisi tertarik kepada sepak terjang Anda ?
Langkah pertama, eksposlah diri Anda sendiri dengan memberikan pidato atau menulis artikel. Agar mampu menarik liputan luas, beraksilah sedikit heboh. Luncurkan ide-ide yang kontroversial. Atau seperti resepnya Ries dan Trout, tirulah aksi seniman pelukis seni pop almarhum Andy Warhol (1927-1987) yang dijuluki sebagai master publicity jockey, karena apa pun yang ia perbuat, dari penampilan, karya seninya ("antara lain seni sablon yang secara teknis setiap orang bisa") sampai kehidupan sosialnya, selalu bisa mengguncang media.
Inti pesannya bagi kita para pebisnis tanaman hias : kita jangan sekali-kali ketinggalan mengikuti kegiatan bursa dan pameran ! (BH).
mgf
Pustaka Kita. Sebuah bola voli meluncur dan jatuh di kandang ayam. Seekor ayam jago segera mengumpulkan para babon ayam untuk mengelilingi bola voli tersebut. Kata si ayam jago, "lihatlah, ayam-ayam tetangga kita mampu menghasilkan telur sebesar ini. Kapan kalian juga mampu seperti itu ?"
Ayam jago yang sok tahu. Tetapi menurut pepatah asal Malaysia, perilaku ayam lebih baik dibanding perilaku penyu. Pepatah negeri jiran itu berbunyi, "Jangan jadi penyu yang bertelur ribuan butir tetapi senyap-senyap, melainkan jadilah ayam : hanya bertelur sebutir tetapi riohnya sekampong !"
Dalam konteks dunia komunikasi modern, rioh itu penting. Publisitas itu penting. Artis seperti Ahmad Dhani dan Maia tahu hal itu. Pelaku adegan video porno macam Maria Eva juga tahu. Juga politisi. Bahkan demikian pula halnya kaum teroris. Adalah pakar pemasaran terkenal Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991) yang menandaskan hal itu.
Agar sukses, kata mereka, Anda harus menemukan kuda untuk bisa Anda tunggangi. Tetapi bila kuda kerja keras yang Anda pilih, peluang sukses Anda hanya 1 dari 100. Pilih menunggang kuda IQ ? Hanya 1 banding 75. Mengandalkan kuda pendidikan pun cuma 1 dari 60. Menyerahkan masa depan Anda dengan pasrah nebeng kuda perusahaan tempat Anda kini bekerja ? Peluang sukses Anda masih hanya 1 dari 50 !
Nasehat Ries dan Trout, pilihlah kuda kreativitas yang membuka peluang sukses Anda 1 banding 25. Kuda hobi lebih potensial lagi, 1 banding 20. Sementara kuda rioh sekampong, yaitu publisitas menurut mereka menjanjikan peluang sukses Anda 1 banding 10.
Di perusahaan besar, tandasnya, ketertampakan atau visibilitas lebih penting dibanding kemampuan, abilitas. Lebih bagus bila Anda memang memiliki keduanya. Tetapi bila Anda diminta memilih, pilihlah pada visibilitas itu.
Kuda kencang yang satu ini menjanjikan keberhasilan karena sembilan puluh persen orang bukan termasuk sebagai golongan pemikir yang independen. Kaum mayoritas ini hanya percaya pada informasi yang mereka baca dari suratkabar, mereka dengar dari radio atau mereka tonton dari televisi, atau bersumber dari omongan orang lain. Darimana mereka memperoleh gagasan ? Ya tentu saja dari sumber surat kabar, radio dan juga televisi tersebut.
Agar sukses menunggang kuda publisitas, Anda harus piawai dalam berdansa dengan orang-orang media. Jangan terlalu agresif dan jangan pula terlalu malu-malu kucing. Kunci pokoknya : jangan mengontak mereka, tetapi biarlah mereka yang menghubungi Anda. Tetapi bagaimana agar wartawan atau reporter televisi tertarik kepada sepak terjang Anda ?
Langkah pertama, eksposlah diri Anda sendiri dengan memberikan pidato atau menulis artikel. Agar mampu menarik liputan luas, beraksilah sedikit heboh. Luncurkan ide-ide yang kontroversial. Atau seperti resepnya Ries dan Trout, tirulah aksi seniman pelukis seni pop almarhum Andy Warhol (1927-1987) yang dijuluki sebagai master publicity jockey, karena apa pun yang ia perbuat, dari penampilan, karya seninya ("antara lain seni sablon yang secara teknis setiap orang bisa") sampai kehidupan sosialnya, selalu bisa mengguncang media.
Inti pesannya bagi kita para pebisnis tanaman hias : kita jangan sekali-kali ketinggalan mengikuti kegiatan bursa dan pameran ! (BH).
mgf
Langganan:
Postingan (Atom)